Minggu, 16 September 2012

Mayoritas Dai TV Mendukung Pluralisme

Bismillahirrahmaanirrahiim.


Akhir Juli 2005, dalam Munas ke-7, MUI mengeluarkan 11 fatwa penting. Salah satunya, fatwa yang mengharamkan paham pluralisme. MUI bisa menerima adanya pluralitas, yaitu kenyataan kodrati yang memang berbeda-beda. Tetapi MUI tidak menerima paham pluralisme yang meyakini: bahwa semua agama sama; bahwa Islam hanyalah salah satu bentuk kebenaran, bukan satu-satunya; bahwa banyak jalan menuju surga, salah satunya jalan Islam.
Kalau mencermati fenomena dakwah populer di TV, hal ini pertama kali dirintis oleh KH. Zainuddin MZ sejak sekitar tahun 1987. Saat itu dakwah beliau berkembang pesat lewat kaset-kaset rekaman yang dijual bebas. Jadwal ceramah beliau sangat padat, sehingga hanya bisa istirahat di atas kendaraan yang mengantarnya dari kota ke kota. Tahun 90-an, dakwah Kyai Zainuddin ini mulai merambah ke TV. Sebenarnya, waktu itu ada juga muballigh lain, seperti KH. Qosim Nurzeha, KH. Nur Muhammad Iskandar, SQ, dan lainnya. Tetapi pamor Kyai Zainuddin lebih menonjol.

Sedikit Pedes, Tapi Agak Manis-manis…
Di akhir 90-an, ketika menjelang tahun 2000-an, pamor Zainuddin mulai redup, lalu naiklah pamor dai Bandung, KH. Abdullah Gymnastiar (atau Aa Gym). Naiknya Aa Gym seakan menjadi gelombang yang menggantikan popularitas Zainuddin MZ. Aa Gym bahkan sudah mulai ikut cawe-cawe bicara isu-isu kebangsaan. Ketika Zainuddin MZ tidak sukses bermain di kancah politik praktis, melalui Partai Bintang Reformasi (PBR), popularitas Aa Gym semakin mencorong.
Hampir bersamaan dengan Aa Gym, muncullah dai kondang yang lain, yaitu Ustadz Muhammad Arifin Ilham. Secara keilmuwan, dia lebih komplit dari sejawatnya; tetapi dari sisi popularitas dan retorika, Aa Gym masih sulit diungguli. Kemudian muncul penggembira lain, yaitu Ustadz Yusuf Manshur, Ustadz Subki Al Bughuri, Jefry Al Buchori,  Othman Shihab (dai Syiah), Soleh Mahmud (Solmed), Maulana, dan seterusnya. Selain mereka itu, ada Mama Dedeh, Ustadz Wijayanto, Ustadz Hariono, Ustadz Cepot, dll. Tentu tak ketinggalan, Prof. Dr. Quraish Shihab.
Jika dianggap tahun 1985 sebagai awal bangkitnya dakwah populer (dakwah gaul, dakwah entertainment, dakwah hiburan) dengan kiprah KH. Zainuddin MZ, maka pada tahun 2012 ini, usia dakwah itu sudah sekitar 27 tahun. Ini sudah setara usia sebuah generasi anak muda, sejak dia lahir sampai menjadi pemuda matang (27 tahun).
Lalu apakah yang dihasilkan dari dakwah populis lewat TV itu setelah 27 tahunan? Apakah kejayaan Ummat, kejayaan Islam, atau kejayaan bangsa Indonesia? Kalau jujur ingin dikatakan, dakwah populis ini tidak banyak pengaruhnya bagi perbaikan kehidupan Ummat Islam di Indonesia.
Mengapa bisa begitu? Padahal mereka sudah berceramah dengan baik, retorika memukau, humor banyak, gayanya memikat, popularitas top, didukung berbagai sarana teknologi, di-back up penuh oleh media-media?
Ya, karena sebagian besar orientasi dakwah populer tersebut ialah HIBURAN atau ENTERTAINMENT. Bedanya dengan hiburan musik, film, sinetron,  komedi, sepak bola, novel, komik, game, perlombaan, dll. hiburan ini konten-nya agama. Isi utamanya hiburan, tetapi kemasannya agama. Persis seperti musik, novel, film, dan lainnya, hanya setting-nya agama.
Dengan dakwah konten utama hiburan itu, bagaimana bisa akan membangun kejayaan dan martabat Ummat Islam? Atau taruhlah, bagaimana ia akan bisa membangun kemuliaan dan martabat bangsa Indonesia (baik Muslim atau non Muslim)?
Namanya hiburan, target utamanya ya having funs (senang-senang doang). Kalau sudah ketawa-tawa, sudah senyam-senyum, sudah seneng-seneng, sudah dapat obrolan ini dan itu; ya sudah, tidak ada lain hasil kecuali itu.
Indikasi untuk menegaskan, bahwa dakwah populis itu hanya ENTERTAINMENT doang ialah: bahwa dalam dakwah-dakwah itu umumnya tidak diajarkan SIFAT PEMBEDA (diferensiasi) antara Islam dengan agama atau ideologi lain.
Maksudnya, Islam memiliki perbedaan hitam-putih dengan agama lain, keyakinan lain, ideologi lain. Misalnya, Islam adalah berbeda dengan agama non Islam; keimanan adalah lawan kekufuran; tauhid adalah lawan dari syirik; jalan lurus lawan dari aliran sesat; sunnah adalah lawan dari bid’ah; dan sebagainya. Unsur-unsur pembeda hitam-putih ini rata-rata tidak diajarkan dalam dakwah para dai-dai TV (dai gaul, atau dai populis) itu.
Untuk membedakan seseorang itu ustadz beneran atau ustadz palsu; ulama yang lurus atau ulama su’; panutan ummat atau tontonan masyarakat; ialah pada sikap PEMBEDA-nya itu. Ada yang menyebut sebagai Sifatul Furqan (karakter pembeda). Seseorang disebut dai, ustadz, ulama, atau apapun, harus memiliki sifat pembeda ini. Kalau tidak, dia bukan bagian dari kafilah pada dai/ustadz di jalan dakwah Islam.
Contoh, sosok Buya Hamka rahimahullah. Dakwah Buya Hamka di TVRI pada era 70-an hingga 80-an begitu digandrungi ummat Islam. Kharisma beliau meluas hingga ke negara-negara Muslim tetangga. Namun ketika sekitar tahun 1984, Buya Hamka menyatakan mundur dari MUI, karena beliau tidak mau mendukung pendapat yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”.
Sebaliknya, kalau mencermati dakwahnya para dai populer itu, rata-rata mereka sangat menghindari tema-tema benturan keyakinan (ideologi). Mereka memilih bahan-bahan ceramah yang aman, seperti seputar akhlak, perilaku, problema keluarga, ibadah ritual, membaca Al Qur’an, berdoa, dzikir, sedekah, dll. Sedangkan bidang-bidang seperti: Tauhid, Sunnah, Syariat Islam, Politik Islam, Gerakan Islamisasi, Kehormatan Islam, Jihad, Anti Pemurtadan, dll. mereka enggan menjamahnya. Katanya, kalau membahas bidang-bidang itu, mereka tidak akan mendapat slot di acara-acara TV.
Memang kita jarang mendengar, dai-dai polulis itu secara terang-terangan menyatakan dirinya membela Pluralisme. Tetapi kita juga nyaris tidak pernah mendengar, bahwa mereka menyerang, mengkritik, atau membantah Pluralisme. Yang ada, mereka senang ngendon di tema-tema yang tidak ada konflik di dalamnya, asalkan dapat order siaran. Jadi, akhirnya dakwah itu dipakai sebagai “alat mencari nafkah”, bukan membela dan mendidik Ummat. Sama seperti para politisi; hanya saja para dai gaul itu “berpolitik” di bidang dakwah, hiburan, sekaligus berbisnis di dalamnya.
Meskipun tidak secara eksplesit mereka mendukung Pluralisme, tetapi sikap dakwah mereka jelas-jelas mendukung missi Pluralisme. Apa saja buktinya?
[1]. Mereka tidak mau jujur mengajarkan kepada masyarakat, bahwa Islam berbeda dengan keyakinan-keyakinan bathil yang lain. Dalilnya adalah sebuah riwayat, “Al Islamu ya’lu wa laa yu’la ‘alaih” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya).
[2]. Para dai itu cenderung memilih bahan, materi, atau tema dakwah yang aman, damai, penuh kasih-sayang, toleran, dan seterusnya. Mereka tidak mau memilih tema dakwah yang mencerminkan kebenaran Islam, kehormatan Islam, sifat pembeda Islam atas keyakinan dan ideologi lain, missi perjuangan Islam, serta khabar-khabar kemenangan Islam. Padahal dalilnya sangat terkenal, “Huwalladzi arsala Rasulahu bil huda wa dinil haqqi li yuzh-hirahu ‘alad dini kullihi” (Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk dimenangkan atas segala agama).
[3]. Para dai itu sedikit sekali membantah, mengkritik, atau menjatuhkan syiar-syiar kebathilan, kesesatan, serta berbagai perkara yang merongrong akidah Islamiyyah. Mereka umumnya beredar dalam masalah akhlak, budi pekerti, kehidupan rumah-tangga, masalah ibadah, doa, dzikir, dan semisalnya. Jarang sekali kita dengar pembelaan dai-dai populis itu terhadap isu-isu besar Ummat. Padahal membantah kebathilan adalah bagian dari menolong agama Allah. Padahal kita membaca ayat ketika Isa Al Masih ‘Alaihissalam berkata kepada para Shahabatnya, “Man anshari ilallah? Wa qaalal hawariyyuna, nahnu ansharullah!” (Siapa yang mau menolongku karena Allah? Maka para Hawariyun itu berkata, kami adalah penolong-penolong agama Allah).
[4]. Para dai itu begitu manut dan taat kepada media-media TV yang memberikan mereka slot tayangan. Alih-alih akan memiliki pendirian, sikap, apalagi sampai mengkritik media-media TV itu; bahkan sejujurnya mereka menghiba-hiba agar bisa tampil terus di TV-TV itu. Bukan sekali dua kali kita lihat dalam acara-acara pengajian itu, saat jeda pengajian, monitor TV banyak menayangkan iklan-iklan cewek lagi mandi, keramas, luluran, dan seterusnya. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Jika begini, jelas pengajian-pengajian itu isinya hanya hiburan semata; bahkan bisnis semata. Nas’alullah al ‘afiyah. Seharusnya mereka ingat ayat berikut, “Wa lam yakhsya illa Allah” (dan tidaklah dia takut, melainkan hanya kepada Allah).
[5]. Tidak pernah terdengar dari mereka, baik dalam dakwah di media atau di luar, tentang kritik, bantahan, serta peringatan mereka terhadap kualitas tayangan-tayangan TV yang 90 % penuh madharat, banyak menipu akal masyarakat, serta semakin membuat kehidupan tambah stress dan penuh masalah. Tidak ada kritik mereka soal itu. Kalau kritik dilontarkan, mereka khawatir tidak akan dipakai lagi oleh TV-TV. Apa yang disebut dalam riwayat, “Qulil haqqa wa lau kaana murran” (katakanlah yang haq, meskipun pahit) tidak berlaku dalam hal seperti ini.
Secara verbal bisa jadi dai-dai itu tidak mendukung Pluralisme. Tetapi model sikap dakwah mereka jelas-jelas sangat menguntungkan penyebaran paham Pluralisme, karena mereka lebih banyak mengolah unsur TOLERANSI, dan enggan menjelaskan kepada Ummat tenang sisi PEMBEDA ajaran Islam dengan ajaran lain. Toleransi adalah azas utama Pluralisme, sedangkan sifat pembeda adalah azas orisinalitas ajaran Islam dan akidahnya.
Singkat kata, kita sangat prihatin dengan fenomena dakwah entertainment itu. Dakwah demikian jelas sudah terlalu jauh dari misi dakwah Kenabian. Para Nabi dan Rasul sering berseru kepada kaumnya, “Ya qaumi laa as’alukum ‘alaihi min ajrin, in ajriya illa ‘alalladzi fatharani” (wahai kaumku, aku tidak meminta bayaran kepada kalian atas dakwah itu, sebab bayaran bagiku ialah datang dari Dzat yang menciptakanku). Namun missi Kenabian ini sudah tidak ada bekasnya, pada sebagian besar dai-dai gaul yang sering nongol di TV-TV. Hajat utamanya hanya hiburan dan bisnis; seperti jual-beli, ada yang menjual dan ada yang membeli.
Semoga apa yang disampaikan ini meskipun nadanya keras dan sengit; menjadi semacam pelajaran berharga bagi semua pihak, termasuk diri kami sendiri. Tidaklah yang kami lakukan, selain membuat perbaikan, sekuat kesanggupan kami. Yang kita harapkan, siapa saja yang menyandang missi dakwah Islam, mesti kembali ke asal-usul dakwahnya, yaitu mengabarkan ajaran-ajaran Islam, dalam rangka: Ikhrajun naasi minaz zhulumati ilan nuuri (mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju jalan terang-benderang).
Jika ada yang benar, ia datangnya dari Allah Azza Wa Jalla; kalau ada salah, keliru, dan sikap berlebihan, itu dari diri saya sendiri. Astaghfirullah wa atubu ilaihi, innahu huwal ghafurur rahiim. Wallahu a’lam bisshawaab.

Tidak ada komentar: