Senin, 27 Mei 2013

Kamuflase Istilah Syariah

Para pembaca yang dirahmati Allah, tentunya tidak asing mendegar istilah Khamar.  Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dari sumber padat, cair, gas. Dalam sejarah Islam, istilah khamar diubah menjadi nabidz agar orang bisa menikmatinya.

Sama seperti sekarang, ini bukan khamar melainkan toak (minuman khas dari Tuban yang bisa memabukkan) atau ini bukan khamar tapi bodrex yang dioplos dengan CTM (obat tidur) dan sprite. Inilah indonesia negeri mayoritas muslim yang sering menciptakan istilah-istilah baru dalam syariat Islam. Begitu juga dalam perbankan syariah. Untuk itu, berhati-hatilah jangan terbak pada istilah namun lihatlah hakikatnya. Sekali lagi hakikatnya.
Dari referensi kitab-kitab di perpus syariah yang saya baca, ternyata pengelabuhan istilah sudah terjadi sejak jaman Nabi Adam alahissallam. Ketika berada di surga, Adam tertipu iblis yang mengatakan jika buah terlarang sebagai buah kuldi yang bisa mengekalkannya di surga. Lihat (QS Thaha 120).
Bahkan Nabi SAW juga mengingatkan umatnya tentang pengelabuhan istilah ini, Abu Malik Asy’ari berkata bahwa beliau pernah mendengar nabi SAW bersabda: “Sungguh akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamar, mereka menamakannnya dengan selain namanya,” (HR Abu Dawud, An nasa’i, Ibunu Majah, dan Ahmad).
Menurut At Turbasyti, mereka mengubah nama khamar menjadi nabidz (minuman yang bukan khamar yang hukumnya mubah). Termasuk dalam kategori nabidz ini seperti minuman air madu dan air dzurah yang tidak haram. Sedangkan khamar biasanya dari campuran anggur dan kurma. Intinya mereka ingin mengelabuhi istilah, tapi hakikatnya sama. Lihat ‘aunul mab’dud, 10:110).
Mengelabuhi dengan cara mengubah istilah adalah salah satu watak Yahudi. Sehingga hukum sesuatu haram dibubah istilahnya menjadi halal. seperti sabda nabi SAW dari jabir bin Abdillah, beliau mendengar rasullah SAW bersabda pada penahklukkan kota Mekkah “Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual beli khamar, bagkai, babi, dan patung.” Lalu ada yang bertanya,” Wahai Rasullullah, apa pendapatmu mengenai jual beli lemak bangkai, mengingat lemak bangkai itu dipakai untuk menambal perahu, meminyaki kulit, dan dijadikan minyak untuk penerangan? Nabi SAW bersabda,”Tidak Boleh,!” jual beli lemak bangkai itu haram. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,” semoga Allah melaknat Yahudi. Sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu menjual minyak dari lemak bangkai tersebut, kemudian mereka memakan hasil penjualannya. (HR Bhukari 2236 dan Muslim No 4132).
Dari hadist ini, sekali lagi penulis ingin mengajak kepada pembaca untuk melihat hakikatnya suatu istilah. Misalnya sesuai yang berbau bid’ah atau syirik diubah namanya begitu indah. Seperti wisata religi, padahal isinya diwarnai dengan praktik syirik dan bi’ah.
Beberapa dekakde in i kaum muslimin di reepublik ini gandrung dengan istilah syariah dan islami. Salah satunya adalah bank dan lembaga keuangan, yang menurut anggapan masyarakat telah menjadi sarang riba.
Denmgan label syariah, kaum muslimin di republik ini tidak ada kesan riba dalam perbankan dan lembaga keuangan syariah. Namun penulis ingatkan jika standar kita bukanlah istilah atau label tapi hakikat praktiknya.
Bank Syariah juga menamai produknya dengan istilah-istilah dalam fikih muamalah. Seperti mudharabah. Meskipun dalam praktiknya bank syariah hanya bersedia berbagai untung dan tidak mau berbagi rugi. Padahal aturan seperti ini hakikatnya bukan mudharabah, tapi mengutangi.
Menurut fikih muamalah, praktik mudharabah yang benar adalah keuntungan dibagi bersama dan kerugian dibagi bersama. Yakni antara pemilik modal dengan pemilik usaha. Jadi hakikat status bagi hasil yang sekarang dialkukan sistem mudharabah di bank syariah adalah riba, karena keuntungan transaksi utang-piutang adalah riba. Para ulama telah membuat kaidah yang ma’ruf bahwa setiap piutang yang mendatangkan keuntungan maka itu adalah riba.
Jadi akhir artikel ini mengingatkan kaum muslimin agar mencermati tidak semua istilah syar’i adalah sesuai dengan syariat Allah. Perlu kaum muslimin memahami hakikatnya. (*)